Palsawan P. Sihombing
BAB I
PENDAHULUAN
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan pangan sebagai makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan, baik produk primer maupun olahan. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu tugas pemerintah yang sangat berat mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini yang mencapai angka sekitar 230 juta jiwa dengan angka pertumbuhan sekitar 1,3 % per tahun.
Dalam Konfrensi Pangan Dunia 1996, Departemen Pertanian Amerika Serikat menyatakan bahwa ketahanan pangan terwujud ketika semua orang dalam setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap kecukupan pangan untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka untuk kehidupan yang produktif dan sehat. Pengertian tersebut sejalan pula dengan pengertian yang dimuat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, bermutu, beragam, bergizi dan terjangkau daya beli masyarakat.
Ketahanan pangan memiliki tiga dimensi yang saling berkait, yaitu:
1. ketersediaan kuantitas pangan dengan kualitas yang baik melalui produksi domestik dan importasi,
2. aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya untuk memperoleh kecukupan pangan dan gizi, dan
3. utilisasi makanan melalui kecukupan pangan, air, sanitasi dan kesehatan.
Indonesia sendiri sebagai sebuah negara agraris ternyata memiliki ketergantungan yang tinggi pada impor dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Pada tahun 2008 Indonesia diperkirakan akan melakukan impor jagung, kedelai, gula dan daging sapi yang masing-masing mencapai 11,23 persen, 70 persen, 37,48 persen dan 29,09 persen dari keseluruhan kebutuhan nasional. Ketergantungan pada produk impor juga terjadi pada bahan pangan yang lain seperti gandum, sayur-sayuran dan buah-buahan yang dijual di jaringan supermarket Indonesia bahkan garam pun harus kita impor. Sedangkan untuk beras pada tahun 2008, Menteri Pertanian optimis produksi beras nasional meningkat lima persen. Oleh karena itu, Presiden telah memutuskan tahun 2008 tidak akan mengimpor beras lagi.
Dengan kondisi pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang masih bergantung pada impor maka dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia masih lemah. Hal ini merupakan fakta yang ironis karena di satu sisi Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian sebagai tumpuan bagi sebagian besar penduduknya. Namun, di sisi lain negara kita juga merupakan negara pengimpor pangan dalam jumlah yang cukup besar.
Stabilitas harga kebutuhan pangan menjadi isu yang sangat krusial karena besarnya jumlah warga miskin di Indonesia. Pengeluaran masyarakat miskin untuk makanan mencapai dua per tiga dari total belanja. Sedangkan pada kelompok masyarakat tidak miskin makanan menyedot 23 persen dari total pengeluaran. Oleh karena itu, stabilitas harga harus selalu dijaga untuk melindungi masyarakat miskin yang jumlahnya sangat besar di Indonesia. Stabilitas harga harus dilihat dari dua sisi, pertama: harga bahan pangan harus dapat dijangkau daya beli masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, kedua: harga bahan pangan harus pula dapat menggairahkan petani untuk berproduksi. Oleh karena itu, stabilitas harga bahan pangan menjadi masalah yang penting untuk mencapai ketahanan pangan.
BAB II
PERMASALAHAN
Pada tahun 1985 Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) atas keberhasilan Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar menjadi swasembada beras pada tahun 1984, Indonesia mengalahkan Cina dan India sebagai calon penerima penghargaan. Namun setelah 22 tahun berlalu, ternyata Indonesia masih harus bergelut dengan masalah pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Indonesia disalip oleh Cina dan India yang mampu mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya dengan baik. Mengapa Indonesia bisa tertinggal?
Akan ada banyak jawaban serta alasan yang diberikan berbagai kalangan melalui berbagai sudut pandang atas pertanyaan di atas. Namun, kami membatasi hanya pada tiga permasalahan pokok yang sering dibahas akhir-akhir ini.
A. Ketergantungan Indonesia Terhadap Bahan Pangan Impor
Permasalahan yang paling fundamental adalah masalah kuantitas, kualitas, dan harga produk lokal yang kadang kurang kompetitif. Berdasarkan data Kompas, kedelai impor asal AS yang masuk ke Indonesia harganya lebih murah Rp. 550 per kilogram dibandingkan kedelai dalam negeri. Selain itu kualitas kedelai impor juga lebih baik dibandingkan kedelai dalam negeri.
Dengan bergantung pada bahan pangan impor, Indonesia telah meletakkan pemenuhan kebutuhan pangan dalam suatu kondisi yang penuh ketidakpastian. Fenomena krisis kedelai yang saat ini sedang berlangsung di tanah air merupakan salah satu contoh yang harus mendapatkan perhatian dari seluruh masyarakat. Total kebutuhan kedelai nasional yang sekitar 2 juta ton per tahun ternyata 70 persen dipenuhi melalui impor. Sedangkan jumlah produksi kedelai dalam negeri ternyata mengalami tren penurunan sejak tahun 2000 (lihat grafik).
sumber:http://www.wartaekonomi.com/indikator.asp?aid=10281&cid=25
Seiring dengan kenaikan harga minyak bumi dunia yang terjadi akhir-akhir ini, kebutuhan pengembangan bahan energi alternatif terutama bahan bakar nabati (biofuel) menjadi meningkat pesat. Pengembangan etanol di AS mendorong kenaikan harga jagung. Hal tersebut mengakibatkan para petani kedelai di AS beralih menanam jagung. Perubahan iklim juga ikut mendorong penurunan jumlah produksi kedelai di AS pada tahun 2007. Keadaan yang nyaris sama juga dialami di negara-negara penghasil kedelai yang lain terutama Argentina dan Brasil. Oleh karena itu, pada tahun 2008 panen kedelai dunia diperkirakan akan turun 6,5 persen.
Penurunan produksi kedelai dunia sudah mulai dirasakan dampaknya di Indonesia pada akhir tahun 2007. Para pengusaha tahu tempe mengeluhkan kelangkaan kedelai yang akhirnya disusul kenaikan harga kedelai di dalam negeri. Pada awal Januari 2007, harga eceran kedelai tertinggi Rp. 3.450 per kilogram. Harga tersebut terus bergerak naik sehingga pada awal Januari 2008 harga kedelai eceran sudah mencapai Rp. 7.250 per kilogram atau naik 110 persen dibandingkan awal Januari 2007. Dengan tingginya kenaikan harga tersebut, para pengusaha tahu tempe terancam gulung tikar karena kenaikan harga kedelai akan berpengaruh pada harga tahu tempe yang mereka jual. Pada akhirnya, kenaikan harga tahu tempe yang terlalu tinggi akan mendorong konsumen untuk tidak lagi mengonsumsi tahu tempe.
Fenomena kenaikan harga pangan dunia akibat pengembangan biofuel juga terjadi pada gandum. Produksi gandum dunia diperkirakan akan menurun karena para petani di berbagai negara beralih menanam tanaman lain yang dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel seperti jagung. Berdasarkan data Kanzas City Board of Trade, harga gandum pada Januari 2008 mencapai 484 dollar AS per ton, sementara di bulan Februari harganya menjadi 522,4 dollar AS per ton. Kenaikan harga gandum dunia berakibat pada kenaikan harga gandum dalam negeri beserta bahan-bahan olahannya. Sebagai contoh, pada Januari 2007 harga terigu merek Cakra Kembar dan Kereta Kencana Rp. 102.300 per karung berisi 25 kg, tetapi per 8 Januari 2008 mencapai Rp. 153.450.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia melalui impor telah membuat bangsa kita terlena dan mengabaikan upaya peningkatan produktivitas dalam negeri. Pada saat kondisi harga bahan pangan dunia mengalami fluktuasi tajam akibat berkurangnya jumlah produksi dunia, maka Indonesia saat ini dibayang-bayangi masalah krisis pangan. Hal ini terjadi karena jumlah produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional.
B. Kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait untuk mendukung program ketahanan pangan
Sebagai contoh pada akhir tahun 2005 terjadi polemik antara Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian tentang keputusan untuk mengimpor beras. Departemen Pertanian beranggapan impor beras tidak diperlukan karena Indonesia mepunyai surplus 1,6 juta ton. Namun, Departemen Perdagangan berpendapat izin impor dikeluarkan dengan pertimbangan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kelangkaan stok dan gejolak harga mengingat kondisi stok Bulog pada awal Desember 2005 di bawah satu juta ton. Pengambilan keputusan-keputusan penting seperti izin impor seharusnya dapat dikoordinasikan dengan baik oleh pihak-pihak terkait dan mengacu pada data yang sama sehingga tidak terjadi perbedaan asumsi yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.
Usaha memenuhi kebutuhan pangan nasional merupakan masalah yang cukup kompleks sehingga diperlukan kinerja multisektor. Oleh karena itu, selama masing-masing sektor bekerja sendiri-sendiri dan tidak ada sinergi konkret di lapangan maka pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan baik dan mempertahankan stabilitas harga bahan pokok di masyarakat.
C. Permasalahan pada jalur distribusi bahan pangan
Tingginya biaya distribusi bahan pangan tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat harga bahan pangan tersebut. Hal tersebut dikarenakan tingginya pungutan liar, infrastruktur yang kurang menunjang, dan belum adanya insentif transportasi produk pertanian. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan meningkatkan inflasi.
Permasalahan kelancaran jalur distribusi menjadi permasalahan yang cukup penting dalam distribusi beras nasional. Perkembangan produksi padi Indonesia menunjukkan bahwa produksi padi di pulau Jawa masih menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan nasional. Jumlah produksi padi di pulau Jawa mencapai angka sekitar 55 persen dari keseluruhan produksi nasional. Oleh karena itu, daerah-daerah lain yang berada di luar Pulau Jawa yang produksi padinya rendah akan bergantung pada pasokan dari Pulau Jawa. Jika jalur distribusinya terhambat, maka kelangkaan beras akan terjadi di daerah-daerah tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan penimbunan komoditi pangan tertentu oleh para spekulan yang hendak memainkan harga di pasaran juga harus diwaspadai oleh pemerintah. Kasus penimbunan kedelai sebanyak 13 ribu ton yang ditemukan di gudang penimbunan milik PT Cargill Indonesia sementara pasokan kedelai di masyarakat saat ini masih langka membuktikan adanya dugaan kartel dan penimbunan kedelai seiring melonjaknya harga kedelai belakangan ini. Pengawasan yang ketat terhadap distribusi bahan pangan perlu dilakukan oleh pemerintah.
BAB III
UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN STABILITAS BAHAN PANGAN
Upaya untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan baik persediaan maupun tingkat harganya dapat dibagi dalam tiga jenis yaitu upaya jangka pendek, jangka menengah serta jangka panjang.
A. Upaya Jangka Pendek
Beberapa upaya jangka pendek yang dapat dilakukan untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan antara lain:
1. Kebijakan impor untuk mengantisipasi kenaikan harga akibat berkurangnya pasokan dalam negeri.
Sesuai hukum permintaan dan penawaran, apabila jumlah permintaan tetap dan jumlah penawaran berkurang maka harga akan mengalami kenaikan. Oleh karena itu, upaya jangka pendek untuk menjaga stabilitas bahan pangan adalah melalui impor. Namun, keputusan melakukan impor harus didukung dengan data yang akurat. Kesalahan penyajian data dapat mengakibatkan petani dalam negeri dirugikan. Hal tersebut dapat terjadi apabila data yang diperoleh pemerintah bertentangan dengan situasi riil di lapangan. Apabila pemerintah melakukan impor pada saat pasokan dalam negeri cukup, akan berakibat pada penurunan tingkat harga yang dapat merugikan petani.
Strategi impor harus diperhatikan dengan serius, terutama untuk kebutuhan bahan-bahan pangan yang masih harus dipenuhi dengan impor. Misalnya saja dalam hal impor kedelai. Kebijakan impor juga harus dibarengi dengan upaya perlindungan terhadap produk dalam negeri, misalnya dengan pemberlakuan tarif impor yang memadai. Melalui pemberlakuan tarif impor untuk produk-produk tertentu, harga produk impor diharapkan bisa lebih tinggi atau minimal sama dengan harga produk lokal ketika dijual di Indonesia sehingga produk lokal mampu bersaing dengan produk impor dalam segi harga. Tujuan jangka panjangnya adalah untuk memberikan proteksi sehingga produktivitas petani dalam negeri bisa meningkat.
2. Pemberian subsidi dalam rangka menjaga daya beli kelompok miskin dalam situasi harga pangan yang melambung
Untuk menjaga daya beli kelompok miskin, ada dua pilihan yaitu mengontrol harga atau meningkatkan daya beli. Mematok harga pangan bukan merupakan opsi yang baik karena amat sulit dan beresiko dalam pelaksanaannya. Pematokan harga pangan membutuhkan biaya administrasi dan pengawasan yang tinggi. Selain itu, kebijakan ini amat rawan penyelundupan.
Pilihan lain yang dapat dilakukan sebagai upaya menjaga daya beli kelompok miskin dalam situasi harga pangan yang melambung adalah meningkatkan daya beli dengan memberikan subsidi pangan kepada penduduk miskin.
Menurut Suparmoko, subsidi (transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).
Subsidi pangan dalam bentuk barang diberikan pemerintah dalam bentuk penyediaan bahan pangan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat miskin, misalnya melalui penyediaan beras murah untuk masyarakat miskin (Raskin) dan operasi pasar murah minyak goreng. Sedangkan subsidi dalam bentuk uang dapat diberikan kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan, misalnya melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi berbentuk uang yang diberikan kepada produsen misalnya berupa kebijakan pemerintah menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) minyak goreng curah dan kemasan, yang bertujuan menekan kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri yang dipicu kenaikan harga CPO (crude palm oil) dunia.
Pada tahun 2008, pemerintah berencana melakukan operasi pasar murah minyak goreng untuk menekan kenaikan harga. Kebijakan operasi pasar murah minyak goreng perlu mendapat perhatian serius. Banyak kalangan yang menilai bahwa kebijakan operasi pasar murah rawan penyelewengan. Penilaian tersebut juga dikemukakan oleh Menko Perekonomian Boediono. Boediono menilai bahwa subsidi pangan akan lebih efektif jika berupa subsidi langsung ke masyarakat yang membutuhkan.
Selain rawan penyelewengan operasi pasar murah minyak goreng juga berpotensi merugikan para pedagang ritel tradisional, yang notabene adalah pedagang kecil. Dengan adanya pasar murah maka para pedagang kecil tersebut akan kehilangan pembeli. Akhirnya para pedagang kecil terpaksa menurunkan harga yang tidak realistis karena berada di bawah modal pembelian mereka yang berakibat pada kerugian.
3. Penanggungan PPN oleh pemerintah, menaikkan pungutan ekspor, pembebasan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia
Sebagai contoh, dalam kasus melonjaknya harga kedelai dan tepung terigu, pemerintah mengambil kebijakan berupa pembebasan tarif impor dan pembebasan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk merangsang penurunan harga komoditi tersebut di dalam negeri.
Kenaikan pungutan ekspor dilakukan oleh pemerintah sebagai respon terhadap naiknya harga minyak goreng yang cukup signifikan. Hal tersebut dipicu oleh kecenderungan pengusaha untuk mengekspor produk CPO ke luar negeri berkaitan dengan melonjaknya harga CPO di pasar internasional. Namun perlu diingat bahwa penetapan kenaikan pungutan ekspor harus dipertimbangkan dengan matang karena dapat mendorong penyelundupan dan memicu semakin tingginya harga CPO di pasar internasional. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi berupa penanggungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi minyak goreng yang dikonsumsi di dalam negeri.
B. Upaya Jangka Menengah
Beberapa upaya jangka menengah yang dapat dilakukan untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan antara lain:
1. Perbaikan jalur distribusi dan pemasaran produk hasil pertanian.
Hal tersebut dilakukan melalui perbaikan mekanisme distribusi beserta sarana-sarana penunjangnya, pembangunan infrastruktur transportasi yang baik, aman, dan nyaman, pembangunan pasar induk dan pasar penunjang serta pemberian insentif transportasi hasil pertanian. Pengawasan yang ketat terhadap distribusi bahan pangan juga perlu dilakukan oleh pemerintah.
Untuk mencapai hasil yang optimal diperlukan kerjasama distribusi bahan pangan yang melibatkan Departemen Perdagangan, Bea Cukai, Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, Pemerintah Daerah, dan Kepolisian R.I.
2. Kuota impor dan ekspor
Untuk melindungi produsen khususnya petani lokal, pemerintah menetapkan kebijakan kuota impor. Sebagai contoh, untuk komoditi gula pemerintah memutuskan mempertahankan kebijakan yang sedang berjalan (SK Menperindag Nomor: 527/MPP/Kep/9/2004) berupa pengaturan kuota impor serta kewajiban menjaga harga minimum di tingkat petani.
Kasus meningkatnya volume ekspor CPO yang didorong oleh kenaikan harga CPO di pasar internasional merupakan suatu masalah yang menimbulkan keprihatinan bagi pemerintah mengingat masih banyak industri pengolahan CPO yang kekurangan pasokan bahan baku. Saat ini, pemerintah sedang mematangkan kebijakan domestic market obligation (DMO) yang dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kuota ekspor. Konsep DMO mewajibkan produsen CPO untuk mengamankan pasokan dalam negeri dengan harga tertentu.
C. Upaya Jangka Panjang
Pada tahun 2005, pemerintah mencanangkan Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Dalam rencana aksi tersebut terdapat target swasembada beberapa komoditi seperti padi (mempertahankan swasembada), jagung (swasembada 2007), gula (swasembada 2009), daging sapi (swasembada 2010) dan kedelai (swasembada 2015). Untuk mencapai target-target tersebut tentu dibutuhkan kerjasama yang baik dari seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah.
Peningkatan jumlah produksi bahan pangan tidak dapat terwujud jika tidak dibarengi dengan perbaikan infrastruktur pertanian, pengembangan benih-benih unggul, pengembangan teknologi pertanian, dan pemberian insentif bagi petani misalnya melalui pemberian pupuk urea bersubsidi. Oleh karena itu, harus ada keberpihakan pemerintah dalam menekan biaya produksi dan pemasaran produk pertanian, termasuk pengaturan tata niaga, agar daya saing komoditas pertanian semakin kuat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kondisi stabilitas kebutuhan pangan Indonesia masih lemah. Hal ini disebabkan oleh tingginya ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait untuk mendukung program ketahanan pangan serta adanya permasalahan pada jalur distribusi bahan pangan.
Stabilitas harga pangan harus dilihat dari dua sisi, pertama: harga bahan pokok harus dapat dijangkau daya beli masyarakat, kedua: harga bahan pokok harus pula dapat menggairahkan petani untuk berproduksi. Kebijakan pangan nasional yang hanya mengutamakan pengendalian harga untuk kepentingan konsumen tanpa memperhatikan kesejahteraan petani akan menghancurkan swasembada pangan yang berbasis petani.
Kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya bertujuan untuk menekan kenaikan harga pangan tetapi juga menjamin kelangsungan swasembada pangan dan kesejahteraan petani. Bila harga pangan terus ditekan maka petani/produsen pangan akan beralih menanam tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan dan dampak situasi ini akan terasa dalam jangka panjang (program swasembada pangan).
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan antara lain sebagai berikut:
1. Upaya Jangka Pendek
Upaya jangka pendek dapat berupa kebijakan impor, pemberian subsidi, penanggungan PPN oleh pemerintah, menaikkan pungutan ekspor serta pembebasan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Upaya Jangka Menengah
Upaya jangka menengah dapat berupa perbaikan jalur distribusi dan pemasaran produk hasil pertanian serta kebijakan kuota impor dan ekspor.
3. Upaya Jangka Panjang
Upaya jangka panjang dilakukan dengan pencapaian swasembada pangan.
Melalui upaya-upaya jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang, diharapkan stabilitas kebutuhan pangan dapat tercapai. Upaya pencapaian stabilitas kebutuhan pangan juga harus didukung dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak-pihak terkait, baik pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat maupun rakyat Indonesia pada umumnya. Tanpa adanya keseriusan serta kesungguhan mustahil stabilitas kebutuhan pangan dapat tercapai.
B. Saran
Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu maka saran-saran yang dapat kami berikan, yaitu:
1. Pembuatan Undang-Undang yang mengatur stabilitas bahan pangan.
Sebagai upaya jangka panjang, perlu dibuat Undang-Undang yang memuat pengaturan tentang stabilitas bahan pangan, ketersediaan bahan pangan, distribusi bahan pangan, pengawasan terhadap gejolak harga serta sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan ini.
Sebagai contoh, Malaysia memiliki Price Control Act 1946, Control of Supplies Act 1961 dan Control of Padi and Rice Act 1994 yang mengatur bahwa harga bahan pokok yang masuk dalam pengawasan tidak dapat dinaikkan tanpa persetujuan pemerintah.
2. Pembentukan badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengatur stabilitas kebutuhan pangan.
Pembentukan suatu badan atau lembaga sebagai pelaksana Undang-Undang yang tersebut di atas. Badan atau lembaga ini mempunyai kewenangan untuk mengatur stabilitas bahan pangan, ketersediaan bahan pangan, pengawasan terhadap gejolak harga serta pelaksanaan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar Undang-Undang tersebut.
Seperti contoh yang terjadi di Malaysia, untuk menegakkan Price Control Act 1946, Menteri Perdagangan Dalam Negeri dan Hal Ehwal Pengguna mengangkat pegawai negeri sipil pengawal harga (price controller) yang dilengkapi dengan berbagai kewenangan untuk memeriksa distributor bahan pangan, menyita barang serta memberikan sanksi.
Berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini, walaupun sudah dibentuk tim koordinasi khusus yang memantau harga di pasar tetapi mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberikan sanksi kepada para pedagang yang menaikkan harga di atas harga toleransi.
3. Perbaikan mekanisme dan pengawasan pemberian subsidi.
Mekanisme pemberian subsidi yang dilakukan selama ini masih perlu dikaji ulang. Mekanisme pemberian subsidi harus mampu menyentuh lapisan masyarakat yang paling membutuhkan. Selain itu, pemberian subsidi juga harus diawasi dengan ketat agar pemberian subsidi tidak salah sasaran.