Palsawan P. Sihombing

May 6, 2008

Klub Danau Kreatif Universitas Indonesia (KDK UI)

Filed under: Uncategorized — palsa @ 7:57 am

KLUB DANAU KREATIF

Universitas Indonesia

Latar Belakang

Kualitas pendidikan dewasa ini hanyalah bersifat formalitas belaka, hanya mengejar nilai akademis dan mengesampingkan hal yang sangat penting dalam tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu proses pembelajaran. Kegiatan pendidikan yang ada hanya mampu mewadahi dari segi kemampuan baca tulis, tetapi tidak dapat mewadahi kemampuan lainnya seperti membangun penguasaan akan mentalitas, emosional, spiritual serta fisik. Di mana unsur-unsur tersebut akan menciptakan suatu pembekalan diri yang penting untuk masa depan yang lebih kreatif. Klub Danau Kreatif dibentuk oleh para mahasiswa dan alumni dari berbagai fakultas di Universitas Indonesia yang tergabung dalam wadah organisasi STUDITY UI (STUDENT SOLIDARITY FOR HUMANITY UNIVERSITAS INDONESIA), yang peduli terhadap pendidikan alternatif, khususnya pendidikan anak. Klub Danau Kreatif bertujuan memperkenalkan konsep multiple intelligence pada diri setiap anak untuk merangsang potensi terbesarnya, sehingga anak dapat mengenali diri secara baik. Kegiatan Klub Danau Kreatif dilaksanakan setiap hari Minggu pagi (tiap dua minggu sekali) di sekitar danau balairung Universitas Indonesia.

Visi

  • Menjadi lembaga pendidikan profesional yang berbasis kreatifitas dan nilai-nilai kebangsaan yang terbuka bagi anak-anak dari seluruh lapisan masyarakat.

Misi

  • Menjadi rekan bagi anak-anak dalam meningkatkan semangat kreatifitas dan kebangsaan sehingga terwujud generasi penerus bangsa yang kreatif dan cinta tanah air.
  • Memfasilitasi anak-anak untuk mengembangkan kreatifitas.
    Mengembangkan SDM sukarelawan baik aspek akademik dan non-akademik dalam rangka peningkatan mutu pelayanan terhadap dunia pendidikan.
  • Menerapkan sistem manajemen profesional dalam rangka menciptakan tata kerja yang baik.

Program Belajar KDK

Klub Danau Kreatif menjalankan program secara tematik, seluruh kegiatan mengacu pada sebuah tema yang mau dicapai. Setiap tema dikupas satu per satu berdasarkan multiple intelligencenya. Dimana dapat dijelaskan apa saja yang ada dalam multiple intelligence, yaitu cerdas linguistik, cerdas spasial, cerdas kinestetik-jasmani, cerdas naturalis, cerdas logis-matematis, cerdas musikal, cerdas intrapribadi, cerdas antarpribadi.

Struktur Kepengurusan KDK UI

Koordinator KDK
Jessica Hutting
Komunikasi UI
Humas Eksternal
Chandri Bhernadia A.
Komunikasi UI
Dana Usaha
Rizky Frida Hidayah
Komunikasi UI
Humas Internal
Vebrina Sari S.
Pajak UI
Perlengkapan
Wawan Warsika
Komunikasi UI
Team Kreatif
Desi
Komunikasi UI
Dokumentasi
Yesmar Banu
Komunikasi UI
Team Kreatif
Christina Maria Diah A.
Komunikasi UI

” Dunia anak-anak sudah selayaknya dipenuhi canda dan tawa, bukan tangis atau luka, mari ulurkan tangan kita demi senyum dan kreatifitas anak-anak agar mereka membuat dunia ikut tersenyum bahagia. “

Kontak Kami:


Sekretariat KDK :
Jl. Kober Gg.
Kesadaran No. 55 RT. 03/05, Kel. Pondok Cina, Kec. Beji, Depok
Telp : 021-92371437, Hp : (Jessica) 085694099171
Email : kdk_cerdas@yahoo.com kdk_cerdas@yahoo.com

Kunjungi Website Kami: http://klubdanaukreatif.tk/

Mohon Komentar dan Dukungan Kawan-Kawan!!!

Palsawan P. Sihombing

Reformasi Kepegawaian (Civil Service Reform) di Indonesia

Filed under: pemerintahan — palsa @ 5:51 am

Reformasi Kepegawaian (Civil Service Reform) di Indonesia

Tanggal: 09/03/2007
diperbarui:29/03/2007

Oleh: Dr. Eko Prasojo
PELAYANAN publik dan penyelenggaraan pemerintahan merupakan fungsi dari berbagai faktor.
Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan tersebut adalah kelembagaan, kepegawaian, proses, pengawasan dan akuntabilitas.

     Diantara faktor-faktor tersebut, maka faktor penting yang dapat menjadi pengungkit (leverage) dalam perbaikan pelayanan publik adalah persoalan reformasi kepegawaian negara.

Dapat dikatakan bahwa baik buruknya suatu birokrasi negara sangat dipengaruhi oleh kualitas kepegawaian negaranya. Di Indonesia sektor kepegawaian negara, yang merupakan sub sistem dari birokrasi secara keseluruhan, belum dijadikan sebagai fokus dari reformasi birokrasi. Pentingnya memberikan perhatian pada reformasi kepegawaian negara ini paling tidak didasarkan pada fakta: (1) keberhasilan pembangunan beberapa negara, seperti Korea dan China terletak pada usaha sistematis dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem kepegawaian negara, (2) kepegawaian negara merupakan faktor dinamis birokrasi yang memegang peranan penting dalam semua aspek pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan.

Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi kepegawaian negara telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Karena itulah, kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi terus terjadi dalam kurun waktu yang lama sejak kita merdeka.

Pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan publik telah menyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas pelayanan publik. Tidak mengherankan jika kompetensi birokrat masih belum memadai, prosedur pelayanan masih berbelit-belit, dan harga pelayanan publik masih tidak transparan. Konsekuensi hal tersebut adalah kewajiban masyarakat untuk membayar mahal pelayanan secara ilegal yang seharusnya menjadi tanggung jawab konstitusional negara dan pemerintah. Pungutan ilegal ini merupakan biaya ketidakpastian (cost of uncertainty) yang harus dikeluarkan oleh masyarakat setiap kali berhadapan dengan birokrasi untuk mendapatkan pelayanan publik. Anehnya, beberapa hasil penelitian, juga jika dipertanyakan secara langsung kepada birokrat dan masyarakat, pungutan liar dalam pelayanan publik adalah hal biasa dan normal. Pungutan liar dan sogokan dalam pelayanan publik telah diterima sebagai budaya yang sangat sulit dihapuskan. Hal ini tidak lepas penataan kepegawaian negara yang tidak pernah dilakukan secara sungguh. Dapat dikatakan, reformasi kepegawaian negara merupakan agenda terpenting dalam reformasi birokrasi secara keseluruhan.

Situasi Problematik

Akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting: (1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara. Dan situasi problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies) (lihat prasojo, 2006).

Terkait dengan persoalan rekruitmen dapat disebutkan beberapa situasi problematis yang dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Proses rekruitmen masih belum dilakukan secara profesional dan masih terkait dengan hubungan-hubungan kolusi, korupsi dan nepotisme. Rekruitmen pegawai masih dipandang seakan-akan menjadi kebutuhan proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata apabila dilihat bahwa job analisis sebagai persyaratan untuk menentukan job requirement masih belum dimiliki oleh pemerintah. Ketiadaan persyaratan jabatan telah menyebabkan rekruitmen dilakukan secara serampangan, dan tidak memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan. Itu sebabnya, meskipun dirasakan PNS di Indonesia tidak tahu apa yang dikerjakan, tetapi rekrutmen PNS tetap terus dilakukan. Untuk dapat melakukan dengan baik proses perekrutan, maka spesifikasi tugas dan jabatan harus diketahui secara baik. Ironisnya, banyak sekali PNS yang tidak mengetahui tugasnya, bahkan nama jabatannya. Jika perekrutan dilakukan tanpa mengetahui kebutuhan analisis jabatannya, SDM aparatur pada satuan organisasi menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan beban kerja yang ada. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara PNS (disguised unemployment). (lihat, Mujiyono, 2006)

Pada sisi lainnya, kepastian tentang jumlah PNS yang dibutuhkan terhadap jumlah penduduk (rasio beban kerja) masih belum dapat dihitung secara baik untuk menentukan jumlah pegawai yang harus direkruit setiap tahunnya. Dari sisi penyelenggaraannya, rekruitmen pegawai masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak menjamin kesempatan dan terjaringnya calon-calon yang potensial. Hal ini disebabkan karena rekrutmen masih dilakukan pemerintah, dan bukan oleh sebuah lembaga yang independen (seperti civil service commision). Dengan situasi birokrasi yang syarat dengan KKN, maka proses rekruitmen yang demikian tidak dapat menghasilkan calon-calon yang terbaik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekruitmen di Indonesia dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan dan afiliasi. Budaya perekruten yang demikian hanya akan menghasilkan birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya yang tidak memadai.

Problem perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga tidak bebas dari masalah. Kuatnya egoisme daerah dan masih menonjolnya hubungan-hubungan persaudaraan dan afiliasi, juga telah menyebabkan proses rekrutmen tidak menghasilkan PNS-PNS yang memenuhi syarat kualifikasi dan akhlak yang baik. Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra daerah dalam perekrutan PNS saat ini semakin menonjol dengan dilakukannya perekrutan oleh PNS. Itu sebabnya beberapa waktu lalu proses perekrutan PNS di beberapa daerah telah menimbulkan demonstrasi dan situasi chaos (Layanan Publik, 2006)

Situasi problematis lainnya dalam perekrutan PNS adalah kekuatan eksternal yang mendorong terjadinya intervensi politik dalam proses rekrutmen. Hal ini disebabkan karena birokrasi di Indonesia masih belum terpisah secara total dengan politik. Keinginan pihak-pihak tertentu misalnya partai politik- untuk menjadikan birokrasi sebagai mesin politik, juga ikut mempengaruhi sukarnya melakukan reformasi rekrutmen PNS (lihat, Sunantara, 2006). Paling tidak, komitmen partai politik untuk mendorong terjadinya perubahan proses dan substansi rekrutmen akan membantu percepaten perbaikan rekrutmen PNS.

Persoalan kedua yang harus menjadi acuan dalam reformasi kepegawaian adalah sistem penggajian PNS. Tingkat kesejahteraan PNS yang rendah sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku PNS. Persoalannya terletak pada tidak seimbangnya antara kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh seorang PNS, dengan gaji yang diterima. Jika mengikuti logika kehidupan eksisten minimum, maka gaji seorang PNS terendah sebesar Rp. 625.000, hanya dapat hidup setengah bulan saja. Kenaikan gaji yang dilakukan secara bertahap dengan persentase 10-15% tidak merupakan solusi bagi kecukupan PNS untuk memenuhi kebutuhannya selama sebulan.

Meskipun UU 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara pada prinsipnya menganut sistem merit, tetapi dalam pengaturan dan praktek penggajian PNS di Indonesia masih belum mencerminkan hal tersebut. Hal ini dapat dilihat antara lain dari berbagai persoalan yang menyangkut sistem penggajian di Indonesia. Gaji pokok masih tidak didasarkan standar kompetensi. Hal ini disebabkan bahwa klasifikasi jabatan masih belum didasarkan pada standar kompetensi seseorang. Disisi lainnya, jenis tunjangan sangat banyak, tetapi belum memperhatikan tugas, wewenang dan tanggungjawab serta prinsip-prinsip keadilan. Bahkan, total tunjangan yang diberikan lebih besar dari gaji yang diterima PNS. Banyaknya tunjangan dan jenis-jenis tunjangan yang beragam ini pada akhirnya menyulitkan pengukuran berapa besarnya take home pay seorang PNS. Jika ditambahkan dengan persoalan “pekerjaan proyek”, maka besarnya tunjangan yang diterima PNS semakin sulit diukur dan semakin tidak transparan. Sumber-sumber pembiayaan gajipun sangat beragam,sehingga membuat income seseorang dalam jabatan negara tidak transparan. Bahkan, besarnya gaji yang diterima oleh PNS hanya berkisar 20-30% dari take home pay yang diterima oleh seorang PNS. Ini pula yang menyebabkan pemberian suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan.

Hal lain yang turut mewarnai carut marutnya sistem penggajian PNS di Indonesia adalah koneksi sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa gaji PNS di Indonesia dibayarkan secara sama tanpa memperhatikan kinerja yang dilakukan. Dengan bahasa lugas, seringkali disebut “pinter goblok, gaji sama (PGPS)”. Tidak berlebihan untuk mengatakan hal tersebut. Bahkan seorang PNS yang tidak memiliki tugas pasti, juga mendapatkan gaji, seperti halnya PNS yang melaksanakan tugasnya dengan baik. Akhirnya, seringkali gaji yang diterima PNS tidak memberikan insentif bagi pelaksanaan kinerja yang semakin baik. Dalam pengertian lain, sistem penggajian PNS belum berdasar pengukuran kinerja. Hal ini pula yang mematikan kreativitas dan inovasi PNS dalam bekerja. Ketiaadaan analisis jabatan dan klasifikasi jabatan menyebabkan penggajian masih belum berbasis pada bobot pekerjaan.

Selanjutnya, terkait erat dengan persoalan kepegawaian negara adalah sistem penilaian kinerja. Sangat sulit mencari ukuran untuk mengatakan bahwa PNS di Indonesia memiliki kharakter profesionalisme dalam kinerja. Karena profesionalisme dalam kinerja memiliki ukuran-ukuran yang bisa secara kuantitatif terukur dan dapat diperbandingkan. Selama ukuran yang dijadikan sebagai indikator kinerja seorang PNS adalah Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3), maka sulit rasanya mengukur kinerja PNS. Hal ini karena ukuran-ukuran kinerja dalam DP3 sangat bersifat umum dan sangat memungkinkan memasukkan unsur-unsur like dan dislike pimpinan kepada bawahan. Ketidakjelasan pengukuran kinerja mempunyai dampak berupa ketidakjelasan standar promosi jabatan. Seseorang dipromosikan dalam jabatan tidak berdasarkan kinerjanya, tetapi lebih berdasarkan kesetiaannya dan kedekatannya dengan seorang atasan. Bahkan sampai saat ini kita tidak memiliki stock nama pejabat dan pegawai dengan kompetensi dan kinerja yang menjadi dasar promosi jabatan.

Persoalan internal lainnya dalam sistem kepegawaian adalah lemahnya pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Sebagai suatu sistem, maka sub sistem kepegawaian saling terkait. Artinya ketidakjelasan sistem rekrutmen, penggajian, pengukuran kinerja dan promosi juga berdampak pada pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Keterkaitan ini ibarat lingkaran setan yang sulit ditentukan ujung pangkalnya. Lemahnya penegakkan pengawasan disebabkan oleh ketiadaan standar kinerja, rendahnya gaji, dan promosi yang kental dengan afiliasi. Dalam prakteknya yang terjadi adalah sulitnya mengawasi membengkaknya kekayaan dan harta pegawai, penerimaan hadiah dan gratifikasi menjadi hal yang lumrah, dan kehadiran pegawai menjadi tidak penting lagi.

Secara eksternal, carut marutnya sistem kepegawaian di Indonesia juga diwarnai oleh kooptasi partai politik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS seringkali menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh Pejabat dan PNS. Sulitnya membedakan antara tugas sebagai PNS dan keberpihakannya pada partai politik, menyebabkan sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem merit, tetapi kepada spoil system. Anggaran negara tidak digunakan semestinya, melainkan atas kepentingan-kepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan pertemenan politik.

Baik problem internal sistem kepegawaian, maupun problem kooptasi politik terhadap birokrasi akan mempengaruhi kinerja birokrasi secara keseluruhan. Karena beberapa reformasi kepegawaian harus diarahkan untuk memujudkan PNS yang profesional, independen dan berbudaya melayani masyarakatnya.

Arah Pertumbuhan dan Perubahan Sistem Kepegawaian

Untuk mengatasi berbagai persoalan diatas, perlu dilakukan berbagai perubahan sistem untuk menuju arah perubahan yang dikehendaki. Untuk menghasilkan calon-calon PNS yang baik, maka proses rekrutmen merupakan pengungkit utama. Karena itu ada beberapa rekomendasi arah perubahan sistem perekruten. Dalam hal perekrutan, harus dilakukan terlebih dahulu job analisis setiap jabatan dan pekerjaan di semua sektor dan semua level pemerintahan. Hal ini untuk mengetahui job requirement yang dibutuhkan dan harus dipenuhi oleh calon-calon PNS. Persyaratan jabatan dan pekerjaan ini diturunkan dalam materi eksaminasi yang mencerminkan kompetensi yang dimiliki oleh pelamar.

Arah perubahan lainnya adalah perlunya dilakukan penghitungan secara pasti existing condition PNS yang ada pada saat ini. Existing condition ini mencerminkan tidak saja jumlah pegawai terhadap penduduk (rasio beban kerja), tetapi juga kualifikasi yang dimiliki oleh pegawai. Kebutuhan pemetaan ini memiliki relevansi terhadap jumlah dan kompetensi calon-calon PNS yang akan direkrut. Sehingga perekrutan PNS bukan hanya sekadar proyek tahunan karena adanya anggaran dan formasi bagi PNS di setiap sektor dan level pemerintahan. Perekrutan harus berdasarkan kepada needs assessment yang telah dilakukan secara cermat.

Dalam hal pelaksanaannya, proses perekrutan harus dilakukan oleh lembaga profesional yang independent bukan oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah). Pemerintah hanya menjadi regulator dan pengawasan, sedangkan pelaksanaan rekrutment dilakukan oleh sebuah komisi kepegawaian negara yang anggotanya terdiri dari para profesional, seperti kalangan perguruan tinggi dan profesional swasta lainnya.Komisi Kepegawaian Negara menyiapkan desain materi eksaminasi, pelaksanaan perekrutan, sampai kepada penetapan calon PNS yang terpilih. Untuk menjaga independensi Komisi Kepegawaian Negara, para anggota direkrut secara profesional melalui fit and proper test seperti halnya komisi-komisi lain yang ada pada saat ini.

Model-model substansi dan materi eksaminasi dapat dilaksanakan dengan metode patok banding yang digunakan oleh pihak swasta. Dalam hal ini termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi baik dalam pendaftaran sampai proses pengumuman.

Proses rekrutmen yang transparan dan terbuka tidaklah menjamin calon-calon PNS yang memiliki kompetensi dan moral yang baik, karena proses rekrutmen hanyalah satu dari subsistem dalam birokrasi. Karena itu, perbaikan perekrutan PNS harus diikuti dengan perbaikan subsistem-subsistem lainnya.

Arah pertumbuhan dan perubahan sistem selanjutnya terkait dengan sistem penggajian. Dalam hal ini beberapa catatan yang dibuat oleh Bekke dkk. Reformasi penggajian menurut Bekke harus berdasarkan “individual worker based, training, competency, experience, productivity, or some other attribute” (Bekke, Perry dan Toonen, 1996). Jenjang penggajian bagi PNS dengan demikian harus berdasarkan pada kinerja pekerjaan seseorang, training yang sudah diikuti, kompetensi yang dimiliki, pengalaman, produktivitas, dan beberapa atribut penting. Menaikkan gaji tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut tidak akan berdampak secara efektif bagi peningkatan kinerja birokrasi secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya, gaji yang dinaikkan hanya akan menyebabkan inefisiensi.

Pada sisi lainnya, Bekke dkk juga mengingatkan agar paritas antara gaji swasta dan negeri untuk beban kerja yang kurang lebih sama tidak boleh terlalu tinggi. Karena hal ini akan menyebabkan interaksi ekonomi politik antara pegawai yang bekerja di sektor publik dengan pegawai di sektor private. Demikian juga, harus dimungkinkan perbedaan besarnya gaji antara individu dan kelompok-kelompo kerja di dalam satu instansi. Untuk mengefektifkan gaji yang diterima dengan kinerja yang diperoleh, maka perlu diatur secara rinci pengaruh reward terhadap kinerja. Dalam pengertian ini, harus dimungkinkannya disinsentif bagi penurunan kinerja.

Terkait dengan jumlah besaran gaji yang harus dinaikkan, penulis berpandangan bahwa upaya yang dilakukan selama ini dengan cicilan kenaikan sebesar 10%-15%, tidak memiliki dampak yang besar bagi peningkatan kinerja. Hal ini karena, kenaikan dengan cicilan tersebut serta merta diikuti dengan kenaikan inflasi, disamping juga tidak memenuhi unsur kecukupan dan kebutuhan minimal. Dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tersebut, maka penulis berpandangan agar kenaikan gaji PNS dilakukan dengan menghitung jumlah besaran eksisten minimum kehidupan layak seorang PNS dengan memperhatikan jabatan, kompetensi, kinerja, jumlah keluarga tingkat kemahalan dan faktor-faktor lain. Sejauh ini persoalan menaikkan gaji sesuai dengan kebutuhan minimum sangat terganjal oleh komitmen pemerintah untuk menyediakan dana yang dibutuhkan.

Arah pertumbuhan dan perubahan sistem lainnya yang harus dilakukan adalah pengukuran kinerja. Instrumen penting dalam hal ini adalah adanya kesepakatan kinerja antara seorang PNS dengan unitnya, dan antara satu unit dengan instansinya. Hal ini sejatinya sudah diwacanakan dengan konsep kontrak kinerja. Hanya saja implementasi kontrak kinerja ini belum optimal, disebabkan oleh konsep dan political will pemerintah yang masih rendah. Melihat apa yang dilakukan di beberapa negara, kontrak kinerja ini dilakukan dalam bentuk tim melalui apa yang disebut sebagai kontrak menajemen. Setiap tim (unit) membuat indikator-indikator kinerja yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu (satu bulan, tiga bulan, enam bulan dan satu tahun). Dan setiap individu dalam tim, harus melaksanakan sejumlah indikator yang telah ditetapkan. Indikator-indikator yang telah disusun dievaluasi oleh kepala unit dan seterusnya oleh kepala instansi pemerintah. Tercapainya indikator akan menentukan juga reward dan punishment yang akan diberikan. Hal ini juga sekaligus menjadi catatan penting dalam kinerja dan promosi seseorang.

Arah pertumbuhan lain yang dikehendaki untuk melakukan reformasi kepegawaian adalah penguatan pengawasan kode etik dan perilaku terhadap PNS. Dalam konteks ini ada dimensi yang harus diperhatikan. Pertama, terkait dengan lembaga yang akan melakukan pengawasan, kedua terkait dengan substansi pengawasan. Berkaca dari praktek di beberapa negara, pengawasan terhadap PNS dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang profesional (seperti civil service gift commission, civil service property commission). Sedangkan menyangkut dimensi substansi dapat meliputi pengawasan terhadap harta dan kekayaan PNS, pengawasan terhadap kode etik, pengawasan penerimaan hadiah, dan pengawasan terhadap PNS yang sudah pensiun.

Sedangkan menyangkut kooptasi politik terhadap birokrasi, perlu kiranya dilakukan reformasi hubungan antara pejabat politik dan pejabat karir. Pemisahan antara pemilihan pejabat politik dan pejabat karir dalam suatu jabatan dimaksudkan untuk menjamin agar birokrasi tidak diisi oleh pejabat-pejabat politik, tetapi oleh pejabat-pejabat karir yang telah meniti karir melalui jenjang karir dan merit yang jelas. Perlu kiranya memikirkan pemisahan antara kementrian (yang dipimpin oleh seorang menteri) dan birokrasi (dengan istilah baru penulis “Departemen”) yang dipimpin oleh seorang pejabat karir. Sedangkan untuk mengakomodasi kepentingan politik menteri, perlu ditunjuk pejabat politik sebagai staf khusus menteri.

Penutup

Reformasi kepegawaian merupakan salah satu sub sistem reformasi birokrasi. Keberhasilan reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan reformasi kepegawaian. Dalam reformasi kepegawaian maka subsistem yang harus direformasi adalah sistem perekrutan, penggajian, pengukuran kinerja, promosi dan pengawasan terhadap etik dan perilaku PNS. Upaya yang tidak sistematis dan komprehensif, hanya akan menimbulkan persoalan baru dalam birokrasi.*****

disadur dari: http://reformasibirokrasi.habibiecenter.or.id/index.cfm?fuseaction=artikel.detail&id=39&catid=3

Mohon komentar kawan-kawan !! 

 

May 5, 2008

Stabilitas Kebutuhan Pangan Nasional

Filed under: ekonomi — palsa @ 5:54 am

Palsawan P. Sihombing

BAB I

PENDAHULUAN

Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan pangan sebagai makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan, baik produk primer maupun olahan. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu tugas pemerintah yang sangat berat mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini yang mencapai angka sekitar 230 juta jiwa dengan angka pertumbuhan sekitar 1,3 % per tahun.[1]

Dalam Konfrensi Pangan Dunia 1996, Departemen Pertanian Amerika Serikat menyatakan bahwa ketahanan pangan terwujud ketika semua orang dalam setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap kecukupan pangan untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka untuk kehidupan yang produktif dan sehat. Pengertian tersebut sejalan pula dengan pengertian yang dimuat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, bermutu, beragam, bergizi dan terjangkau daya beli masyarakat.

Ketahanan pangan memiliki tiga dimensi yang saling berkait, yaitu:

1. ketersediaan kuantitas pangan dengan kualitas yang baik melalui produksi domestik dan importasi,

2. aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya untuk memperoleh kecukupan pangan dan gizi, dan

3. utilisasi makanan melalui kecukupan pangan, air, sanitasi dan kesehatan.[2]

Indonesia sendiri sebagai sebuah negara agraris ternyata memiliki ketergantungan yang tinggi pada impor dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Pada tahun 2008 Indonesia diperkirakan akan melakukan impor jagung, kedelai, gula dan daging sapi yang masing-masing mencapai 11,23 persen, 70 persen, 37,48 persen dan 29,09 persen dari keseluruhan kebutuhan nasional.[3] Ketergantungan pada produk impor juga terjadi pada bahan pangan yang lain seperti gandum, sayur-sayuran dan buah-buahan yang dijual di jaringan supermarket Indonesia bahkan garam pun harus kita impor.[4] Sedangkan untuk beras pada tahun 2008, Menteri Pertanian optimis produksi beras nasional meningkat lima persen. Oleh karena itu, Presiden telah memutuskan tahun 2008 tidak akan mengimpor beras lagi.[5]

Dengan kondisi pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang masih bergantung pada impor maka dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia masih lemah. Hal ini merupakan fakta yang ironis karena di satu sisi Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian sebagai tumpuan bagi sebagian besar penduduknya. Namun, di sisi lain negara kita juga merupakan negara pengimpor pangan dalam jumlah yang cukup besar.

Stabilitas harga kebutuhan pangan menjadi isu yang sangat krusial karena besarnya jumlah warga miskin di Indonesia. Pengeluaran masyarakat miskin untuk makanan mencapai dua per tiga dari total belanja. Sedangkan pada kelompok masyarakat tidak miskin makanan menyedot 23 persen dari total pengeluaran.[6] Oleh karena itu, stabilitas harga harus selalu dijaga untuk melindungi masyarakat miskin yang jumlahnya sangat besar di Indonesia. Stabilitas harga harus dilihat dari dua sisi, pertama: harga bahan pangan harus dapat dijangkau daya beli masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, kedua: harga bahan pangan harus pula dapat menggairahkan petani untuk berproduksi. Oleh karena itu, stabilitas harga bahan pangan menjadi masalah yang penting untuk mencapai ketahanan pangan.

BAB II

PERMASALAHAN

Pada tahun 1985 Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) atas keberhasilan Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar menjadi swasembada beras pada tahun 1984, Indonesia mengalahkan Cina dan India sebagai calon penerima penghargaan. Namun setelah 22 tahun berlalu, ternyata Indonesia masih harus bergelut dengan masalah pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Indonesia disalip oleh Cina dan India yang mampu mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya dengan baik. Mengapa Indonesia bisa tertinggal?

Akan ada banyak jawaban serta alasan yang diberikan berbagai kalangan melalui berbagai sudut pandang atas pertanyaan di atas. Namun, kami membatasi hanya pada tiga permasalahan pokok yang sering dibahas akhir-akhir ini.

A. Ketergantungan Indonesia Terhadap Bahan Pangan Impor

Permasalahan yang paling fundamental adalah masalah kuantitas, kualitas, dan harga produk lokal yang kadang kurang kompetitif.[7] Berdasarkan data Kompas, kedelai impor asal AS yang masuk ke Indonesia harganya lebih murah Rp. 550 per kilogram dibandingkan kedelai dalam negeri.[8] Selain itu kualitas kedelai impor juga lebih baik dibandingkan kedelai dalam negeri.

Dengan bergantung pada bahan pangan impor, Indonesia telah meletakkan pemenuhan kebutuhan pangan dalam suatu kondisi yang penuh ketidakpastian. Fenomena krisis kedelai yang saat ini sedang berlangsung di tanah air merupakan salah satu contoh yang harus mendapatkan perhatian dari seluruh masyarakat. Total kebutuhan kedelai nasional yang sekitar 2 juta ton per tahun ternyata 70 persen dipenuhi melalui impor. Sedangkan jumlah produksi kedelai dalam negeri ternyata mengalami tren penurunan sejak tahun 2000 (lihat grafik).

sumber:http://www.wartaekonomi.com/indikator.asp?aid=10281&cid=25

Seiring dengan kenaikan harga minyak bumi dunia yang terjadi akhir-akhir ini, kebutuhan pengembangan bahan energi alternatif terutama bahan bakar nabati (biofuel) menjadi meningkat pesat. Pengembangan etanol di AS mendorong kenaikan harga jagung. Hal tersebut mengakibatkan para petani kedelai di AS beralih menanam jagung. Perubahan iklim juga ikut mendorong penurunan jumlah produksi kedelai di AS pada tahun 2007. Keadaan yang nyaris sama juga dialami di negara-negara penghasil kedelai yang lain terutama Argentina dan Brasil. Oleh karena itu, pada tahun 2008 panen kedelai dunia diperkirakan akan turun 6,5 persen.[9]

Penurunan produksi kedelai dunia sudah mulai dirasakan dampaknya di Indonesia pada akhir tahun 2007. Para pengusaha tahu tempe mengeluhkan kelangkaan kedelai yang akhirnya disusul kenaikan harga kedelai di dalam negeri. Pada awal Januari 2007, harga eceran kedelai tertinggi Rp. 3.450 per kilogram. Harga tersebut terus bergerak naik sehingga pada awal Januari 2008 harga kedelai eceran sudah mencapai Rp. 7.250 per kilogram atau naik 110 persen dibandingkan awal Januari 2007.[10] Dengan tingginya kenaikan harga tersebut, para pengusaha tahu tempe terancam gulung tikar karena kenaikan harga kedelai akan berpengaruh pada harga tahu tempe yang mereka jual. Pada akhirnya, kenaikan harga tahu tempe yang terlalu tinggi akan mendorong konsumen untuk tidak lagi mengonsumsi tahu tempe.

Fenomena kenaikan harga pangan dunia akibat pengembangan biofuel juga terjadi pada gandum. Produksi gandum dunia diperkirakan akan menurun karena para petani di berbagai negara beralih menanam tanaman lain yang dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel seperti jagung. Berdasarkan data Kanzas City Board of Trade, harga gandum pada Januari 2008 mencapai 484 dollar AS per ton, sementara di bulan Februari harganya menjadi 522,4 dollar AS per ton.[11] Kenaikan harga gandum dunia berakibat pada kenaikan harga gandum dalam negeri beserta bahan-bahan olahannya. Sebagai contoh, pada Januari 2007 harga terigu merek Cakra Kembar dan Kereta Kencana Rp. 102.300 per karung berisi 25 kg, tetapi per 8 Januari 2008 mencapai Rp. 153.450.[12]

Dari uraian di atas, terlihat bahwa pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia melalui impor telah membuat bangsa kita terlena dan mengabaikan upaya peningkatan produktivitas dalam negeri. Pada saat kondisi harga bahan pangan dunia mengalami fluktuasi tajam akibat berkurangnya jumlah produksi dunia, maka Indonesia saat ini dibayang-bayangi masalah krisis pangan. Hal ini terjadi karena jumlah produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional.

B. Kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait untuk mendukung program ketahanan pangan

Sebagai contoh pada akhir tahun 2005 terjadi polemik antara Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian tentang keputusan untuk mengimpor beras.[13] Departemen Pertanian beranggapan impor beras tidak diperlukan karena Indonesia mepunyai surplus 1,6 juta ton. Namun, Departemen Perdagangan berpendapat izin impor dikeluarkan dengan pertimbangan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kelangkaan stok dan gejolak harga mengingat kondisi stok Bulog pada awal Desember 2005 di bawah satu juta ton. Pengambilan keputusan-keputusan penting seperti izin impor seharusnya dapat dikoordinasikan dengan baik oleh pihak-pihak terkait dan mengacu pada data yang sama sehingga tidak terjadi perbedaan asumsi yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Usaha memenuhi kebutuhan pangan nasional merupakan masalah yang cukup kompleks sehingga diperlukan kinerja multisektor. Oleh karena itu, selama masing-masing sektor bekerja sendiri-sendiri dan tidak ada sinergi konkret di lapangan maka pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan baik dan mempertahankan stabilitas harga bahan pokok di masyarakat.

C. Permasalahan pada jalur distribusi bahan pangan

Tingginya biaya distribusi bahan pangan tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat harga bahan pangan tersebut. Hal tersebut dikarenakan tingginya pungutan liar, infrastruktur yang kurang menunjang, dan belum adanya insentif transportasi produk pertanian.[14] Faktor-faktor tersebut mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan meningkatkan inflasi.

Permasalahan kelancaran jalur distribusi menjadi permasalahan yang cukup penting dalam distribusi beras nasional. Perkembangan produksi padi Indonesia menunjukkan bahwa produksi padi di pulau Jawa masih menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan nasional. Jumlah produksi padi di pulau Jawa mencapai angka sekitar 55 persen dari keseluruhan produksi nasional.[15] Oleh karena itu, daerah-daerah lain yang berada di luar Pulau Jawa yang produksi padinya rendah akan bergantung pada pasokan dari Pulau Jawa. Jika jalur distribusinya terhambat, maka kelangkaan beras akan terjadi di daerah-daerah tersebut.

Kemungkinan-kemungkinan penimbunan komoditi pangan tertentu oleh para spekulan yang hendak memainkan harga di pasaran juga harus diwaspadai oleh pemerintah. Kasus penimbunan kedelai sebanyak 13 ribu ton yang ditemukan di gudang penimbunan milik PT Cargill Indonesia sementara pasokan kedelai di masyarakat saat ini masih langka membuktikan adanya dugaan kartel dan penimbunan kedelai seiring melonjaknya harga kedelai belakangan ini.[16] Pengawasan yang ketat terhadap distribusi bahan pangan perlu dilakukan oleh pemerintah.

BAB III

UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN STABILITAS BAHAN PANGAN

Upaya untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan baik persediaan maupun tingkat harganya dapat dibagi dalam tiga jenis yaitu upaya jangka pendek, jangka menengah serta jangka panjang.

A. Upaya Jangka Pendek

Beberapa upaya jangka pendek yang dapat dilakukan untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan antara lain:

1. Kebijakan impor untuk mengantisipasi kenaikan harga akibat berkurangnya pasokan dalam negeri.

Sesuai hukum permintaan dan penawaran, apabila jumlah permintaan tetap dan jumlah penawaran berkurang maka harga akan mengalami kenaikan. Oleh karena itu, upaya jangka pendek untuk menjaga stabilitas bahan pangan adalah melalui impor. Namun, keputusan melakukan impor harus didukung dengan data yang akurat. Kesalahan penyajian data dapat mengakibatkan petani dalam negeri dirugikan. Hal tersebut dapat terjadi apabila data yang diperoleh pemerintah bertentangan dengan situasi riil di lapangan. Apabila pemerintah melakukan impor pada saat pasokan dalam negeri cukup, akan berakibat pada penurunan tingkat harga yang dapat merugikan petani.

Strategi impor harus diperhatikan dengan serius, terutama untuk kebutuhan bahan-bahan pangan yang masih harus dipenuhi dengan impor. Misalnya saja dalam hal impor kedelai. Kebijakan impor juga harus dibarengi dengan upaya perlindungan terhadap produk dalam negeri, misalnya dengan pemberlakuan tarif impor yang memadai. Melalui pemberlakuan tarif impor untuk produk-produk tertentu, harga produk impor diharapkan bisa lebih tinggi atau minimal sama dengan harga produk lokal ketika dijual di Indonesia sehingga produk lokal mampu bersaing dengan produk impor dalam segi harga. Tujuan jangka panjangnya adalah untuk memberikan proteksi sehingga produktivitas petani dalam negeri bisa meningkat.

2. Pemberian subsidi dalam rangka menjaga daya beli kelompok miskin dalam situasi harga pangan yang melambung

Untuk menjaga daya beli kelompok miskin, ada dua pilihan yaitu mengontrol harga atau meningkatkan daya beli.[17] Mematok harga pangan bukan merupakan opsi yang baik karena amat sulit dan beresiko dalam pelaksanaannya. Pematokan harga pangan membutuhkan biaya administrasi dan pengawasan yang tinggi. Selain itu, kebijakan ini amat rawan penyelundupan.

Pilihan lain yang dapat dilakukan sebagai upaya menjaga daya beli kelompok miskin dalam situasi harga pangan yang melambung adalah meningkatkan daya beli dengan memberikan subsidi pangan kepada penduduk miskin.

Menurut Suparmoko, subsidi (transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).[18]

Subsidi pangan dalam bentuk barang diberikan pemerintah dalam bentuk penyediaan bahan pangan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat miskin, misalnya melalui penyediaan beras murah untuk masyarakat miskin (Raskin) dan operasi pasar murah minyak goreng. Sedangkan subsidi dalam bentuk uang dapat diberikan kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan, misalnya melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi berbentuk uang yang diberikan kepada produsen misalnya berupa kebijakan pemerintah menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) minyak goreng curah dan kemasan, yang bertujuan menekan kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri yang dipicu kenaikan harga CPO (crude palm oil) dunia.

Pada tahun 2008, pemerintah berencana melakukan operasi pasar murah minyak goreng untuk menekan kenaikan harga. Kebijakan operasi pasar murah minyak goreng perlu mendapat perhatian serius. Banyak kalangan yang menilai bahwa kebijakan operasi pasar murah rawan penyelewengan. Penilaian tersebut juga dikemukakan oleh Menko Perekonomian Boediono.[19] Boediono menilai bahwa subsidi pangan akan lebih efektif jika berupa subsidi langsung ke masyarakat yang membutuhkan.

Selain rawan penyelewengan operasi pasar murah minyak goreng juga berpotensi merugikan para pedagang ritel tradisional, yang notabene adalah pedagang kecil. Dengan adanya pasar murah maka para pedagang kecil tersebut akan kehilangan pembeli. Akhirnya para pedagang kecil terpaksa menurunkan harga yang tidak realistis karena berada di bawah modal pembelian mereka yang berakibat pada kerugian.

3. Penanggungan PPN oleh pemerintah, menaikkan pungutan ekspor, pembebasan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia

Sebagai contoh, dalam kasus melonjaknya harga kedelai dan tepung terigu, pemerintah mengambil kebijakan berupa pembebasan tarif impor dan pembebasan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk merangsang penurunan harga komoditi tersebut di dalam negeri.

Kenaikan pungutan ekspor dilakukan oleh pemerintah sebagai respon terhadap naiknya harga minyak goreng yang cukup signifikan. Hal tersebut dipicu oleh kecenderungan pengusaha untuk mengekspor produk CPO ke luar negeri berkaitan dengan melonjaknya harga CPO di pasar internasional. Namun perlu diingat bahwa penetapan kenaikan pungutan ekspor harus dipertimbangkan dengan matang karena dapat mendorong penyelundupan dan memicu semakin tingginya harga CPO di pasar internasional. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi berupa penanggungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi minyak goreng yang dikonsumsi di dalam negeri.

B. Upaya Jangka Menengah

Beberapa upaya jangka menengah yang dapat dilakukan untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan antara lain:

1. Perbaikan jalur distribusi dan pemasaran produk hasil pertanian.

Hal tersebut dilakukan melalui perbaikan mekanisme distribusi beserta sarana-sarana penunjangnya, pembangunan infrastruktur transportasi yang baik, aman, dan nyaman, pembangunan pasar induk dan pasar penunjang serta pemberian insentif transportasi hasil pertanian. Pengawasan yang ketat terhadap distribusi bahan pangan juga perlu dilakukan oleh pemerintah.

Untuk mencapai hasil yang optimal diperlukan kerjasama distribusi bahan pangan yang melibatkan Departemen Perdagangan, Bea Cukai, Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, Pemerintah Daerah, dan Kepolisian R.I.

2. Kuota impor dan ekspor

Untuk melindungi produsen khususnya petani lokal, pemerintah menetapkan kebijakan kuota impor. Sebagai contoh, untuk komoditi gula pemerintah memutuskan mempertahankan kebijakan yang sedang berjalan (SK Menperindag Nomor: 527/MPP/Kep/9/2004) berupa pengaturan kuota impor serta kewajiban menjaga harga minimum di tingkat petani.

Kasus meningkatnya volume ekspor CPO yang didorong oleh kenaikan harga CPO di pasar internasional merupakan suatu masalah yang menimbulkan keprihatinan bagi pemerintah mengingat masih banyak industri pengolahan CPO yang kekurangan pasokan bahan baku.[20] Saat ini, pemerintah sedang mematangkan kebijakan domestic market obligation (DMO) yang dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kuota ekspor. Konsep DMO mewajibkan produsen CPO untuk mengamankan pasokan dalam negeri dengan harga tertentu.

C. Upaya Jangka Panjang

Pada tahun 2005, pemerintah mencanangkan Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Dalam rencana aksi tersebut terdapat target swasembada beberapa komoditi seperti padi (mempertahankan swasembada), jagung (swasembada 2007), gula (swasembada 2009), daging sapi (swasembada 2010) dan kedelai (swasembada 2015). Untuk mencapai target-target tersebut tentu dibutuhkan kerjasama yang baik dari seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah.

Peningkatan jumlah produksi bahan pangan tidak dapat terwujud jika tidak dibarengi dengan perbaikan infrastruktur pertanian, pengembangan benih-benih unggul, pengembangan teknologi pertanian, dan pemberian insentif bagi petani misalnya melalui pemberian pupuk urea bersubsidi. Oleh karena itu, harus ada keberpihakan pemerintah dalam menekan biaya produksi dan pemasaran produk pertanian, termasuk pengaturan tata niaga, agar daya saing komoditas pertanian semakin kuat.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kondisi stabilitas kebutuhan pangan Indonesia masih lemah. Hal ini disebabkan oleh tingginya ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait untuk mendukung program ketahanan pangan serta adanya permasalahan pada jalur distribusi bahan pangan.

Stabilitas harga pangan harus dilihat dari dua sisi, pertama: harga bahan pokok harus dapat dijangkau daya beli masyarakat, kedua: harga bahan pokok harus pula dapat menggairahkan petani untuk berproduksi. Kebijakan pangan nasional yang hanya mengutamakan pengendalian harga untuk kepentingan konsumen tanpa memperhatikan kesejahteraan petani akan menghancurkan swasembada pangan yang berbasis petani.

Kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya bertujuan untuk menekan kenaikan harga pangan tetapi juga menjamin kelangsungan swasembada pangan dan kesejahteraan petani. Bila harga pangan terus ditekan maka petani/produsen pangan akan beralih menanam tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan dan dampak situasi ini akan terasa dalam jangka panjang (program swasembada pangan).

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan stabilitas bahan pangan antara lain sebagai berikut:

1. Upaya Jangka Pendek

Upaya jangka pendek dapat berupa kebijakan impor, pemberian subsidi, penanggungan PPN oleh pemerintah, menaikkan pungutan ekspor serta pembebasan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI).

2. Upaya Jangka Menengah

Upaya jangka menengah dapat berupa perbaikan jalur distribusi dan pemasaran produk hasil pertanian serta kebijakan kuota impor dan ekspor.

3. Upaya Jangka Panjang

Upaya jangka panjang dilakukan dengan pencapaian swasembada pangan.

Melalui upaya-upaya jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang, diharapkan stabilitas kebutuhan pangan dapat tercapai. Upaya pencapaian stabilitas kebutuhan pangan juga harus didukung dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak-pihak terkait, baik pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat maupun rakyat Indonesia pada umumnya. Tanpa adanya keseriusan serta kesungguhan mustahil stabilitas kebutuhan pangan dapat tercapai.

B. Saran

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu maka saran-saran yang dapat kami berikan, yaitu:

1. Pembuatan Undang-Undang yang mengatur stabilitas bahan pangan.

Sebagai upaya jangka panjang, perlu dibuat Undang-Undang yang memuat pengaturan tentang stabilitas bahan pangan, ketersediaan bahan pangan, distribusi bahan pangan, pengawasan terhadap gejolak harga serta sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan ini.

Sebagai contoh, Malaysia memiliki Price Control Act 1946, Control of Supplies Act 1961 dan Control of Padi and Rice Act 1994 yang mengatur bahwa harga bahan pokok yang masuk dalam pengawasan tidak dapat dinaikkan tanpa persetujuan pemerintah.

2. Pembentukan badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengatur stabilitas kebutuhan pangan.

Pembentukan suatu badan atau lembaga sebagai pelaksana Undang-Undang yang tersebut di atas. Badan atau lembaga ini mempunyai kewenangan untuk mengatur stabilitas bahan pangan, ketersediaan bahan pangan, pengawasan terhadap gejolak harga serta pelaksanaan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar Undang-Undang tersebut.

Seperti contoh yang terjadi di Malaysia, untuk menegakkan Price Control Act 1946, Menteri Perdagangan Dalam Negeri dan Hal Ehwal Pengguna mengangkat pegawai negeri sipil pengawal harga (price controller) yang dilengkapi dengan berbagai kewenangan untuk memeriksa distributor bahan pangan, menyita barang serta memberikan sanksi.

Berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini, walaupun sudah dibentuk tim koordinasi khusus yang memantau harga di pasar tetapi mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberikan sanksi kepada para pedagang yang menaikkan harga di atas harga toleransi.[21]

3. Perbaikan mekanisme dan pengawasan pemberian subsidi.

Mekanisme pemberian subsidi yang dilakukan selama ini masih perlu dikaji ulang. Mekanisme pemberian subsidi harus mampu menyentuh lapisan masyarakat yang paling membutuhkan. Selain itu, pemberian subsidi juga harus diawasi dengan ketat agar pemberian subsidi tidak salah sasaran.


[1] Presiden: Laksanakan Ketahanan Pangan, http://www.indonesia.go.id, (19 Desember 2006).

[2] Lesmana, Teddy, Ketahanan Pangan Dan Pemberantasan Kemiskinan, MEDIA INDONESIA (4 Juli 2007).

[3] Samhadi, Sri Hartati, Krisis Pangan Krisis Bangsa Agraris, KOMPAS (19 Januari 2008).

[4] Samhadi, Sri Hartati, Krisis Pangan Krisis Bangsa Agraris, KOMPAS (19 Januari 2008).

[5] Prabowo, Hermas E., Jangan Terperosok ke Lubang yang Sama, KOMPAS (4 Januari 2008).

[6] Harga Komoditas Mendorong Inflasi, KOMPAS (4 Maret 2008).

[7] Apriyantono, Anton, Gejolak Pasokan dan Harga Pangan, KOMPAS (16 Januari 2008).

[8] Prabowo, Hermas E, Komoditas yang Salah Urus, KOMPAS (16 Januari 2008).

[9] Santosa, Dwi Andreas, Tidak berdaulat Atas Pangan, KOMPAS (24 Januari 2008).

[10] Perajin Tahu-Tempe Mogok 3 Hari, KOMPAS (14 Januari 2008).

[11] Harga Terigu Masih Tetap Tinggi, KOMPAS (14 Februari 2008).

[12] Produsen Hanya Tahan 4 Bulan, KOMPAS 15 Januari 2008.

[13] Wardany, Irawati, Polemik Impor Beras, Bukti Pemerintah Tidak Solid?, INVESTOR DAILY (2 Desember 2005).

[14] Apriyantono, Anton, Gejolak Pasokan dan Harga Pangan, KOMPAS (16 Januari 2008).

[15] Statistik Perberasan Nasional Tahun 2007, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, hal. 25.

[16] Wibowo, Kukuh, Polisi Temukan Gudang Penimbunan Kedelai, TEMPO INTERAKTIF (25 Januari 2008).

[17] Basri, M. Chatib, Kerviel, Defisit Anggaran, dan Subsidi Pangan, KOMPAS (28 Januari 2008).

[18] M. Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, Edisi ke-5, hal. 34, 2003, BPFE, Yogyakarta.

[19] Subsidi Seharusnya Langsung, KOMPAS ( 6 Maret 2008).

[20] Rencana Kenaikan PE dan Penerapan Kuota Ekspor CPO Hendaknya Dipertimbangkan Secara Matang, Karya Indonesia Edisi I 2007.

[21] Intervensi Pasar Tidak Bisa Sembarangan, SUARA PEMBARUAN (15 September 2007).

May 3, 2008

Hello world!

Filed under: Uncategorized — palsa @ 1:50 pm

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Blog at WordPress.com.